
Jakarta,TangkalNews– Pasca ditetapkan Juliari Peter Batubara sebagai tersangka kasus Korupsi Bansos Covid-19 oleh KPK , Presiden RI Ir.Joko Widodo mengingatkan kembali kepada kabinetnya untuk tidak bermain-main pada penggunaan anggaran bencana , seperti saat pandemi Covid-19 saat ini
Begitu KPK menetapkan Juliari Pater Batubara sebagai tersangka maka Menteri sosial tersebut langsung menyerahkan diri ke kantor KPK pada Minggu (06/12) dini hari .
Penetapan tersangka Juliari merupakan perkembangan operasi tangkap tangan pada Sabtu (05/12) lalu terkait dugaan korupsi bansos untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 di Kementerian Sosial.
Dengan mengenakan jaket, topi dan masker warna hitam, Juliari tiba di KPK pada Minggu (06/12) pukul 02.45 WIB, hampir satu jam setelah KPK menggelar konferensi pers penetapan tersangka dirinya dan sejumlah pejabat Kemensos serta pihak swasta.
Dalam konferensi pers, Ketua KPK, Firli Bahuri, menduga Juliari Peter Batubara menerima Rp17 miliar dari korupsi bansos sembako yang ditargetkan untuk keluarga miskin yang terdampak akibat wabah Virus Corona-19
“KPK menetapkan lima orang tersangka dengan inisial JPB, MJS dan AW karena telah menerima Fee dana Bansos dari pihak swasta yang merupakan pengusaha jasa dan pengadaan paket Bansos Covid -19 dari pemberi nya berinisial AIM dan HS,” ungkap Firli Bahuri .
Terkait hal itu Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud Md, mengatakan, pejabat pusat dan daerah yang melakukan tindak korupsi berkaitan dengan anggaran bencana Covid-19 terancam hukuman mati.
“Saya ingatkan, menurut UU Tindak Pidana Korupsi , pelakunya bisa diancam dengan paling tinggi seumur hidup atau 20 tahun penjara itu untuk kasus Korupsi biasa , Namun, dalam keadaan bencana seperti saat Covid-19 saat ini, maka ancaman hukuman mati bisa diberlakukan berdasarkan UU yang berlaku,” tegas Mahfud. dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah ,pada 15 Juni 2020 lalu
Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Ketua KPK Firli Bahuri pada Agustus lalu menuturkan, kondisi pandemi Covid-19 masuk atau memenuhi unsur ‘dalam keadaan tertentu’ sesuai ayat 2 pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga, hukuman mati layak menjadi hukuman bagi pelaku koruptor Bansos
Penyidik KPK menunjukan barang bukti uang tunai terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) tindak pidana korupsi pada program bantuan sosial di Kementerian Sosial untuk penanganan COVID-19 di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020) dini hari.
Kronologis Penangkapan Para Tersangka :
Bahwa sebelumnya adanya laporan masyarakat , yang mengatakan akan ada Oknum pejabat yang akan menerima Fee dari pihak swasta terkait bansos Covid -19 untuk wilayah Jabodetabek ,kemudian Sabtu (05/12) dini hari KPK menuju sasaran yang dituju .Selanjutnya langsung melakukan operasi tangkap tangan terhadap MJS dan SN yang merupakan pejabat Kementerian Sosial, serta tersangka lain dari pihak swasta, yakni AIM dan HS.
“Sebagai barang bukti berhasil di sita uang dari AIM dan HS yang disimpan di dalam tujuh koper, tiga ransel dan amplop dengan nominal Rp14,5 miliar,” jelas Firli.
Selanjutnya Tim KPK mengamankan MJS, SN, dan pihak-pihak lain di berbagai tempat di Jakarta dan selanjutnya digelandang di kantor KPK untuk pemeriksaan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan , ini adalah kasus dugaan korupsi di Kementerian Sosial ini diawali dengan adanya pengadaan barang untuk bansos dalam rangka penanganan Pandemi Covid-19.
Pengadaan barang itu berupa paket sembako di Kementerian Sosial pada tahun 2020 dengan nilai Rp 5,9 triliun dengan 272 kontrak dan dilaksanakan sebanyak dua periode
Juliari selaku Menteri Sosial, menunjuk MJS dan AW sebagai pejabat pembuat komitmen dalam proyek tersebut dengan penunjukan langsung antar rekanan.
Diduga disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan pada rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS.
“Untuik fee tiap paket bansos disepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp10.000 paket sembako dari nilai Rp300.000 per paket bansos,” jelas Firli.
Pada konstruksi perkara, KPK mengungkapkan bahwa Juliari diduga menerima uang suap sekitar Rp8,2 miliar dalam pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama.
“Diduga diterima fee Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar,” kata Firli Bahuri.
Ia menambahkan pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK dan SN yang merupakan orang kepercayaan JPB.
Uang tersebut, kata Firli, diduga digunakan untuk membayar berbagai keperluan pribadi JPB.
Selanjutnya, pada periode kedua pelaksanaan bansos sembako, yakni dari Oktober sampai Desember 2020, terkumpul uang sekitar Rp8,8 miliar.
“Itu juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB,” tambah Firli.
Dengan demikian, Juliari diduga menerima uang suap total sekitar Rp17 miliar yang diduga digunakan untuk keperluan pribadi.
Atas dugaan tersebut, KPK menetapkan Juliari dan empat orang lain sebagai tersangka. Juliari ditetapkan sebagai tersangka penerima suap bersama MJS dan AW.
Sementara itu, dua orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap, yaitu AIM dan HS.
KPK telah menyangkakan JPB melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, MJS dan AW disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 (i) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sedangkan AIM dan HS selaku pemberi suap, disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi.
Lebih jauh, Firli mengungkapkan bahwa sejak awal terjadinya pandemi Covid-19, KPK telah melakukan berbagai upaya pemberantasan korupsi dan upaya pencegahan korupsi dalam penanganan Covid-19.
Upaya pencegahan yang dilakukan KPK, antara lain dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) No 8/2020 tentang penggunaan anggaran dalam rangka pelaksanaan pengadaan barang jasa percepatan penanganan Covid-19, khususnya bantuan sosial.
Selain itu, KPK juga menerbitkan SE 11/2020 tentang penggunaan pelaksanaan bantuan sosial dengan berbasis data terpadu.
“Bantuan sosial harus tepat sasaran, tepat guna dan tidak disalahgunakan,” tegas Firli (****)
No Responses